Senin, 18 Maret 2013

TUGAS TIK ( UJIAN PRAKTEK)

1.ISI POSTING
 A.Animasi

B. Word

THE CRYING STONE

In a smalll village ,a girl lived with her moth.the girl is very beautiful. Everyday she puts make up and wears the best clothes .She doesn’t like to help her mother worked in a field .She very lazy.

On day ,the mother  asked yhe gilrs to accompany her to go to the market to buy some food.At first the girl refused,but the mother persuaded her by asked they are went to buy new clothes.The girl finally agree.But she asked her mother to walked behind her. Although her mother is very sad.She agree to walk behind her daughter.

On the way to the market,everybody admired the girl’s beauty. They a also curious . Behind the beautiful girl,there is an old woman with simple dress.The gils and her mother looked very different.

“hell pretty lady.Who is the woman behind you?”Ak s them.

“She is my servant.” Answer the girl.

The mother is very sad,but she doesn’t say anything.

The girls and the mother meet other people.Again they asked the mother is her servant every time she meet the people.

At last,the mother cannot hold the pain anymore.She pays to God to punish her daughter God answer her prayed.Slowly,the girl leg turn into stone.The process continues to the upper part  of the girl’s body.The girl is very panic.

“Mother,please forgive me!” she cries and asked her mother to forgive her.

But it’s too late.Her whole body finally becomes a big stone.Until now people still can see tears falling down the stone.People then call it the crying stone.

C.Gambar

         

D. Video


 

 2.Artikel Bermanfaat

 Artikel Pendidikan Berkarakter 
Membangun Pendidikan Berkarakter
Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN) selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan sukaria dan hura-hura berlebihan. Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga mencoret-coret baju seragam.
DI lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustrasi. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan lainnya); tajam pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen yang disebutkan yaitu akal dan budi.
Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".
Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil semata berupa angka-angka.
Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis.
Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter,  yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".
Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.
Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.
Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.
Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.
Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekadar menunaikan kewajiban menyampaikan materi dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.
Perkara teknis pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren dengan pendidikan formal modern.
Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar