A.Animasi
B. Word
THE CRYING STONE
In a smalll village ,a girl lived with her moth.the girl is very beautiful. Everyday she puts make up and wears the best clothes .She doesn’t like to help her mother worked in a field .She very lazy.
On day ,the mother asked yhe gilrs to accompany her to go to the market to buy some food.At first the girl refused,but the mother persuaded her by asked they are went to buy new clothes.The girl finally agree.But she asked her mother to walked behind her. Although her mother is very sad.She agree to walk behind her daughter.
On the way to the market,everybody admired the girl’s beauty. They a also curious . Behind the beautiful girl,there is an old woman with simple dress.The gils and her mother looked very different.
“hell pretty lady.Who is the woman behind you?”Ak s them.
“She is my servant.” Answer the girl.
The mother is very sad,but she doesn’t say anything.
The girls and the mother meet other people.Again they asked the mother is her servant every time she meet the people.
At last,the mother cannot hold the pain anymore.She pays to God to punish her daughter God answer her prayed.Slowly,the girl leg turn into stone.The process continues to the upper part of the girl’s body.The girl is very panic.
“Mother,please forgive me!” she cries and asked her mother to forgive her.
But it’s too late.Her whole body finally becomes a big stone.Until now people still can see tears falling down the stone.People then call it the crying stone.
C.Gambar
D. Video
2.Artikel Bermanfaat
Artikel Pendidikan Berkarakter
Membangun Pendidikan Berkarakter
Pengumuman kelulusan ujian nasional (UN)
selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu
sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama
di kota besar merayakannya dengan sukaria dan hura-hura berlebihan.
Mulai konvoi kendaraan beramai-ramai hingga mencoret-coret baju seragam.
DI
lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya,
hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena
frustrasi. Dua sisi perilaku pelajar kita seperti ini sangat
disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian
seperti di atas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter
pelajar dengan pemikiran logis dan mampu membentuk insan-insan terdidik
dengan emosi cerdas.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945
dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan
negara Indonesia yaitu "Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir,
mengerti, dan lainnya); tajam pikiran. Di sini jelas, ada dua elemen
yang disebutkan yaitu akal dan budi.
Akal tentu merujuk pada hal
intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter.
Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik
menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".
Sangat jelas
cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar
pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak
mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga,
pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya
sebatas output hasil semata berupa angka-angka.
Orientasi yang
salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari
keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus
menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak
dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan
cara-cara praktis.
Kecerdasan intelektual diraih namun mental
para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam
bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa
pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun
bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia
cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin
jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter, yang muncul
adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".
Selama
ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama
orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah
nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan
terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok
pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang
kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.
Ada berbagai
kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah
nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan
lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output
intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.
Sebaliknya,
alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun
gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya
di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah
formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan
karakter kepada para pelajar.
Mata pelajaran agama dan
pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya.
Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran
tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan
nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada
pertemuan-pertemuannya di kelas.
Setiap pertemuan di kelas para
guru cenderung hanya sekadar menunaikan kewajiban menyampaikan materi
dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran,
maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga.
Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal
proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa
dilakukan melalui interaksi masif yang bukan sekadar basa-basi. Hal
inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.
Perkara teknis
pengimplementasian amanat UUD inilah yang seharusnya ditekankan oleh
pemerintah terutama Kementerian Pendidikan. Pemerintah harus mampu
menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok
pesantren dengan pendidikan formal modern.
Sehingga, pendidikan
kita tidak hanya sekadar penanaman intelektualitas semata. Tetapi juga
penanaman karakter. Dengan begitu, kenakalan-kenakalan pelajar bisa
segera terhapus dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.